Laman

Selasa, 03 April 2012

Isu-isu Standarisasi dalam Akuntansi Syariah Terkait Konvergensi International Financial Reporting Standards (IFRS) di Indonesia

LATAR BELAKANG MASALAH

Perkembangan ekonomi dan bisnis berbasis Islam tumbuh dengan subur di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa akuntansi syariah yang merupakan produk ekonomi Islam sudah banyak dikenal di masyarakat dan kalangan pebisnis di Indonesia. ekonomi Islam sendiri muncul di berbagai negara yang berideologi Islam dan separo lebih penduduknya muslim, termasuk Indonesia.
Menurut Dimyati (2007) kehadiran ekonomi Islam ini merupakan suatu langkah yang digunakan untuk melepaskan diri dari jeratan kapitalisme dan sosialisme. Sistem ekonomi ini menawarkan konsep ekonomi relijius yang merujuk pada dua sumber hukum Islam yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah. Itulah sebabnya seringkali sistem ekonomi tersebut disebut ekonomi syari’ah atau ekonomi al-Qur‘an. Faktanya, kedua hukum Islam tersebut tidak pernah benar-benar digunakan sebagai landasan dalam merumuskan konsep epistemologis ekonomi Islam itu sendiri melainkan fiqh yang “sekedar” rasionalisasi kreatif ulama yang dijadikan sebagai acuan utamanya. Selain itu, ekonomi Islam banyak mengadopsi begitu saja teori-teori yang ada dalam ekonomi konvensional dengan melakukan penyesuaian atau dipaksakan dengan melakukan sedikit penyesuaian atau dipaksakan agar sesuai dengan ayat atau hadis tertentu. kalaupun ada ayat atau hadis yang dijadikan sebagai dasar hukum bagi suatu model transaksi atau praktek ekonomi yang dianggap islam, pembacaan sistematis dan kritis yang memenuhi prinsip-prinsip interpretasi yang valid tidak dilakukan terlebih dahulu. Akibatnya, apa yang disebut dengan ekonomi Islam tidak lebih dari kumpulan teori ekonomi konvensional plus al-Qur’an dan as-Sunnah.
Menurut Suwiknyo (2007) metodologi akuntansi syariah yang sedang berkembang dewasa ini terbagi menjadi dua kubu yang memiliki pendekatan yang berbeda dalam merumuskan akuntansi syariah. Satu kubu berusaha keras merumuskan akuntansi syariah dari basis keilmuan yang dimiliki Islam. Sedangkan kubu yang lain menghendaki perumusan akuntansi syariah yang berangkat dari kerangka akuntansi konvensional. Padahal, menurut Muhammad (2004) aspek-aspek akuntansi konvensional tidak dapat diterapkan pada lembaga yang menggunakan prinsip-prinsip Islam baik dari implikasi akuntansi maupun akibat ekonomi. Hal yang sama juga diargumentasikan oleh Gambling dan Karim (1991 dalam IAI, 2008) berargumentasi bahwa konsep income ekonomi tak bisa diterima dalam perspektif Islam karena hal-hal yang tak bisa diterima itu begitu fundamental bagi teori deduktif Barat. Misalnya, model tingkat ekonomi pengembalian modal (economic rate of return on capital) yang membentuk basis bagi kalkulasi pendapatan di muka dengan asumsi bahwa uang punya nilai waktu, yang dinyatakan Gambling dan Karim sebagai hal yang tak ada dalam Islam. Atas dasar ini, bagian dari teori akunting deduktif yang berlandasan teori ekonomi konvensional tampak bukan sebagai model yang cocok untuk menciptakan teori akuntansi Islam.
Menurut AAOIFI (Accounting and Auditing Organization of Islamic Financial Institutions) dalam Majalah Akuntan Indonesia (2008) sejak 1996 mereka telah menerapkan pendekatan yang mengkomparasikan sasaran-sasaran yang ada dalam akuntansi kontemporer dan akuntansi syariah, apabila tidak sejalan tinggalkan. Lembaga ini berpendapat bahwa cara itu konsisten dengan prinsip-prinsip Islam lebih luas bahwa suatu pandangan tak selalu memerlukan konsep yang mesti diambil dari Syariah. Dengan demikian, konsep informasi akuntansi berguna, seperti relevansi dan reliabilitas, bisa begitu saja dimasukkan dalam praktek akuntansi Islami oleh AAOIFI.
Pendekatan yang dilakukan AAOIFI ini mungkin bisa digunakan, namun faktanya sangat sulit untuk menyatukan dua hal yang berbeda dengan kerangka konseptual yang berbeda. Oleh karena itu, perlu adanya standar akuntansi yang berbeda untuk akuntansi syariah ini. Standar akuntansi ini juga didorong oleh kebutuhan rasionalitas kerangka konseptual akuntansi syariah yang lebih baik lagi.
Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) sejauh ini telah menerbitkan enam standar terkait dengan akuntansi syariah, yaitu PSAK 101 (penyajian dan pengungkapan laporan keuangan entitas syariah), PSAK 102 (murabahah), PSAK 103 (salam), PSAK 104 (istishna), PSAK 105 (mudharabah) dan PSAK 106 (musyarakah). Berdasarkan Exposure Draft Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Syariah, kerangka dasar ini menyajikan konsep yang mendasari penyusunan dan penyajian laporan keuangan bagi para penggunanya. Namun tampaknya adanya standar ini pun tidak membuat pihak-pihak berkepentingan lantas merasa puas dengan standar ini. Masih terdapat banyak kebimbangan dan ketakutan dalam mengaplikasikan akuntansi syariah ini. Sementara masalah ini belum terselesaikan, akuntansi syariah ini juga dihadapkan dengan konvergensi International Financial Reporting Standards (IFRS) pada standar akuntansi Indonesia.
Menurut Rosita Uli Sinaga, Ketua Dewan Standar Akuntansi Keuangan IAI dalam seminar FKSPI “IFRS for Auditor” (2011), latar belakang konvergensi IFRS di Indonesia adalah pengakuan IFRS sebagai standar akuntansi global yang telah digunakan lebih dari 100 negara dan kurang lebih 40% negara-negara global Fortune 500 dan adanya izin yang diberikan pada emiten dari luar US untuk menggunakan laporan keuangan berbasis IFRS oleh US SEC pada akhir 2007. Selain itu, konvergensi IFRS ini juga dilatarbelakangi oleh adanya komitmen dari G-20 Member September 2009 yang lalu untuk melengkapi detail masalah instrumen keuangan, off-balance sheet item, pengadaan (termasuk ketentuan pinjaman rugi), dan penilaian gangguan pada akhir 2009 untuk melipatgandakan upaya mereka untuk mencapai satu set berkualitas tinggi, standar akuntansi global dalam konteks penetapan standar independen mereka yaitu mengkonvergensi dan menyelesaikan proyek pada Juni 2011. Target Konvergensi IFRS 2012 di Indonesia adalah merevisi PSAK agar secara signifikan sesuai dengan IFRS per 1 Januari 2009, yang akan efektif pada 2011 atau 2012. Dalam mencapai target tersebut DSAK IAI menggunakan pendekatan bertahap sehingga pada tahun 2012 laporan keuangan berdasarkan SAK tidak memerlukan rekonsiliasi signifikan dengan laporan keuangan berbasis IFRS. Mulai tahun 2008 – 2012 PSAK berbasis industri sebagian besar dicabut karena IFRS berbasis transaksi.
Konvergensi IFRS ini juga menimbulkan munculnya berbagai isu-isu terkait akuntansi syariah. Isu-isu ini diteliti oleh sebuah kelompok kerja yang mengurusi masalah konvergensi IFRS di Asia yaitu Asian-Oceanian Standard Setters Group (AOSSG). Kelompok ini kemudian menuangkan isu-isu akuntansi tersebut dalam sebuah Research Paper yang telah dipublikasikan pada bulan September 2010 yang lalu. Isu-isu ini nantinya diharapkan berguna dalam menyusun sebuah kerangka konseptual yang lebih baik, sehingga nantinya akan menyesuaikan standar sesuai dengan kondisi yang relevan di Indonesia pada saat konvergensi IFRS. Makalah ini akan membahas mengenai berbagai isu standarisasi yang muncul terkait konvergensi IFRS di Indonesia yang mengacu pada Research Paper dari AOSSG tersebut.

ISU-ISU STANDARISASI DALAM AKUNTANSI SYARIAH TERKAIT KONVERGENSI INTERNATIONAL FINANCIAL REPORTING STANDARDS (IFRS) DI INDONESIA

Akuntansi untuk Transaksi Keuangan Syariah
Bangkitnya sistem akuntansi syariah dilatar belakangi oleh banyaknya transaksi keuangan dengan dasar syariah, baik yang dilakukan lembaga bisnis syariah maupun non syariah. Hal tersebut menyebabkan perlunya pengaturan atau standar untuk pencatatan, pengukuran, maupun penyajian sehingga para praktisi dan pengguna keuangan mempunyai standar yang sama dalam akuntansi (IAI, 2008).
Transaksi keuangan syariah terbentur oleh permasalahan basis akrual dan kas yang syariah. Menurut Zainulbahar Noor (IAI, 2008) sistem akuntansi konvensional yang berbasis akrual terbukti mengalami banyak kegagalan, terutama mendorong para akuntan lebih jujur dan adil, sehinggga dianggap melanggar syariah. Sistem berbasis akrual itu telah mengakui adanya pendapatan yang terjadi di masa yang akan datang, padahal syariah Islam melarang untuk mengakui suatu pendapatan yang sifatnya belum pasti. Hal ini disebabkan karena dalam QS Al-Baqarah:225 masa yang akan datang adalah kekuasaan dan wewenang Allah sepenuhnya untuk mengetahuinya.
Lain halnya dengan pendapat Ellya (IAI, 2008) yang mengatakan dasar akrual adalah suatu proses akuntansi untuk mengakui terjadinya peristiwa atau keadaan non kas. Sistem berbasis akrual digunakan untuk mengakui adanya pendapatan dan atau peningkatan aktiva yang akan diterima di masa yang akan datang pada saat transaksi tersebut terjadi. Misalnya, sebuah perusahaan melakukan penjualan secara kredit, maka perusahaan tersebut akan mencatat adanya piutang (hak perusahaan tersebut terhadap pembeli yang akan diterima di masa yang akan datang) dan beliau juga meyakini bahwa model ini tidak bertentangan dengan kaidah di dalam Islam.
Pro dan kontra transaksi keuangan tersebut nampaknya menimbulkan dilema bagi para pembuat standar bukan hanya di Indonesia tapi juga di negara ASEAN yang lain. Menanggapi dilema tersebut Asean-Oceanic Standard Setter Group (AOSSG) dalam Research Paper-nya tahun 2010 mengatakan bahwa transaksi keuangan Islam banyak menggunakan kontrak, pengaturan, dan dalam bentuk hukum yang sangat berbeda dari banyak transaksi yang biasa, sehingga timbul pertanyaan apakah standar akuntansi yang ada saat ini cukup bisa diggunakan untuk transaksi Islam, atau apakah transaksi itu begitu unik sehingga membuat beberapa bentuk lain dari kerangka akuntansi akan diperlukan. Belum lagi menjawab sebuah pertanyaan apakah standar internasional IFRS ini dapat mengatasi masalah ini atau malah justru semakin membebani teori akuntansi syariah yang diterapkan saat ini.
Transaksi keuangan syariah di beberapa negara termasuk Indonesia sendiri diyakini oleh AOSSG (2010, para 14) dapat dipertanggungjawabkan menggunakan IFRS di satu sisi secara umum, namun menurut sisi yang lain ada beberapa orang yang percaya bahwa dibutuhkan standar akuntansi terpisah yang diwajibkan untuk melaporkan transaksi keuangan Islam. Lagi-lagi dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat dari berbagai pihak yang kemudian dirinci oleh AOSSG (2010, para 15) sebagai berikut:
1. Time Value-for-Money
Berbagai pihak yang percaya bahwa tidak pantas untuk mencerminkan nilai waktu dari uang dalam pelaporan transaksi keuangan Islam apabila tidak ada bunga yang dibebankan atau dikeluarkan dalam transaksi tersebut. Namun, beberapa pihak membantah bahwa ada suatu konsep sebagai nilai waktu uang. Sebaliknya, yang lain percaya bahwa meskipun bunga pengisian pada pinjaman dilarang, namun dapat sedikit berdampak pada pembiayaan transaksi, dan akan memberikan informasi yang akan menguntungkan pengguna.
2. Substansi Mengungguli Bentuk
Ada orang yang percaya bahwa pengakuan dan pengukuran dari transaksi keuangan Islam harus memberikan keunggulan untuk bentuk hukumnya sebagai pembeda dari setara konvensional dirasakan. Seorang penulis bahkan mengklaim bahwa substansi mengungguli bentuk adalah ‘pelanggaran terang-terangan Syariah’. Sebaliknya, yang lain percaya bahwa hal itu dapat diterima, dan akan mendapat manfaat lebih banyak pengguna, untuk menunjukkan substansi ekonomi dari transaksi keuangan Islam, dan informasi tentang bentuk hukum dapat diturunkan ke catatan atas laporan keuangan.
Sebagai contoh, banyak transaksi keuangan Islam didasarkan pada penjualan. Terdapat argumen bahwa hasil dari transaksi tersebut harus dicatat sebagai pendapatan dari penjualan barang. Namun, dalam banyak kasus, pembayaran untuk item yang dijual adalah ditangguhkan. Berdasarkan IAS 18 ayat 9, pendapatan pada penjualan barang diukur pada nilai wajar imbalan yang diterima atau receivable. Ketika pembayaran untuk item ditangguhkan, nilai wajar dari imbalan tersebut mungkin kurang dari jumlah nominal dari kas yang diterima atau piutang. Entah sengaja atau dengan desain, efek ekonomi dari penjualan erat mungkin menyerupai transaksi pembiayaan. Dalam keadaan seperti itu, IAS 18 akan memerlukan perbedaan antara nilai wajar dan jumlah nominal mempertimbangkan untuk diakui sebagai revenue (IAS 18 ayat 11) bunga.
Perbedaan pendapat tersebut menunjukkan bahwa pihak-pihak ini terbagi menjadi dua kubu yang berbeda dalam memandang standar dan akuntansi syariah, yaitu dari sisi agama dan sisi akuntansi konvensional. Bagaimanapun juga, menurut AOSSG (2010) penggunaan istilah ‘Islam’ untuk menggambarkan standar tidak berarti bahwa mereka secara universal diterima di seluruh yurisdiksi negara yang berpenduduk mayoritas Muslim, atau bahwa secara seragam diterapkan ke semua transaksi keuangan Islam.
AOSSG (2010) juga menunjukkan bahwa ada dua negara yang telah menghasilkan standar akuntansi Islam sendiri yaitu Pakistan dan Indonesia. ICAP Pakistan telah menghasilkan dua Standar Akuntansi Syariah Keuangan (IFA), yaitu IFA 1 Murabahah dan IFA 2 Ijarah. Demikian juga, Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) telah membentuk Dewan Standar Akuntansi Syariah yang merumuskan standar untuk transaksi keuangan sesuai Syariah. Untuk saat ini, IAI telah mengeluarkan kerangka untuk persiapan dan penyajian Syariah pada laporan keuangan dan delapan standar akuntansi syariah (kemudian disebut PSAK) yaitu PSAK 101 Penyajian Laporan Keuangan Syariah, PSAK 102 Akuntansi Murabahah, PSAK 103 Akuntansi Salam, PSAK 104 Akuntansi Istishna untuk, PSAK 105 Akuntansi Mudarabah, PSAK 106 Akuntansi Musyarakah, PSAK 107 Akuntansi Ijarah dan PSAK 108 Transaksi Syariah Asuransi. Persyaratan standar akuntansi Islam yang dikeluarkan oleh ICAP dan IAI didasarkan sebagian pada AAOIFI. Banyak PSAK yang dikeluarkan oleh AAOIFI tampaknya tidak bertentangan dengan IFRS dalam bahwa mereka hanya persyaratan untuk pengungkapan tambahan atau presentasi. Perbedaan antara kebutuhan beberapa FAS AAOIFI dan orang-orang dari IFRS mungkin sebagian dijelaskan oleh penolakan AAOIFI terhadap nilai waktu dari uang, sebagaimana dinyatakan dalam Pernyataan FAS 2 yaitu Konsep Akuntansi Keuangan Islam Bank dan Lembaga Keuangan seperti yang dikutip dalam Research Paper AOSSG (2010:10) ini:
“… [Konsep yang digunakan dalam akuntansi keuangan tradisional, tetapi tidak konsisten dengan syariat Islam] adalah ditolak atau dimodifikasi secukupnya untuk mematuhi syariat dalam rangka untuk membuat mereka berguna. Sebuah contoh dari konsep tersebut adalah nilai waktu dari uang sebagai atribut pengukuran “(ayat 7); dan
“… Memang, uang tidak memiliki waktu-nilai selain dari nilai barang yang sedang dipertukarkan melalui penggunaan uang, sesuai dengan syariat. … “(Ayat 8)
Selain itu, AAOIFI nampaknya ambigu tentang pandangan pada substansi mengungguli bentuk. Dalam ayat 111 dari SFA 2, tampaknya mendukung konsep dengan menyatakan:
“… Kehandalan berarti bahwa berdasarkan semua keadaan khusus seputar transaksi atau peristiwa tertentu, metode yang dipilih untuk mengukur dan/atau mengungkapkan efek menghasilkan informasi yang mencerminkan substansi dari peristiwa atau transaksi.”
Namun, standar pada Ijarah memerlukan sewa dengan pembelian atau pengaturan transfer harus diperlakukan sebagai sewa operasi diikuti oleh penjualan dengan keuntungan atau kerugian pembuangan, sedangkan pengaturan seperti itu kemungkinan besar akan diperlakukan sebagai sewa pembiayaan dalam akuntansi yang berlaku umum prinsip-prinsip. Persyaratan seperti itu mungkin menyarankan mendukung bentuk atas substansi transaksi.
Dengan demikian, kembali lagi pada sebuah pertanyaan apakah IFRS dapat digunakan pada transaksi keuangan syariah dengan melihat adanya penolakan dari AAOIFI ini?

Konvergensi IFRS pada Transaksi Keuangan Syariah di Indonesia
Penolakan AAOIFI terhadap beberapa tujuan, konsep, dan standar yang ada pada IFRS didasarkan pada aplikasi penentu standar yang berbeda dengan pendekatan yang sama. Hal ini mungkin akan terbantahkan dengan fakta penerapan Malaysia Accounting Standard Board (MASB).
MASB yang berani menyimpulkan bahwa prinsip-prinsip pelaporan keuangan dalam IFRS tidak bertentangan dengan syariah, dan pelaporan keuangan adalah fungsi pencatatan yang akan tidak menyucikan atau membatalkan keabsahan transaksi Syariah. Para MASB juga menyimpulkan bahwa perbedaan utama antara pelaporan keuangan transaksi keuangan Islam dan konvensional komparatif mereka bukan pada pengakuan dan pengukuran, namun sejauh mana informasi yang harus diberikan kepada pengguna. MASB menganggap bahwa pengizinan untuk melaporkan transaksi sesuai syariah berdasarkan IFRS tidak hanya akan membersihkan hati nurani pemangku kepentingan muslim, tetapi juga akan membawa manfaat praktis juga. Sebuah entitas pelapor akan terhindar dari kesulitan pelaporan di bawah kerangka kerja yang berbeda. Selain itu, akan menghilangkan peluang arbitrase apapun yang mungkin timbul dari perbedaan dalam perawatan akuntansi dan karena banyak yurisdiksi telah mencapai berbagai tonggak konvergensi dengan IFRS, pandangan ini akan memungkinkan mereka untuk terus di jalan itu dengan gangguan minimal (AOSSG, 2010).
Namun nampaknya tidak demikian dengan Indonesia. Staf IAI setuju dengan penolakan yang diungkap di dalam FAS 2 AAOIFI mengenai persyaratan paragraf 29-30 dari IAS 18 adalah tidak bisa diterapkan pada transaksi Murabahah dalam yurisdiksinya. Mereka menyatakannya dalam Research Paper AOSSG (2010:13):
“… Menurut syariah fatwa di Indonesia, penjualan murabahah barang tidak dapat diperhitungkan sebagai penjualan dan transaksi pembiayaan, karena ini jenis transaksi harus diperlakukan sebagai transaksi penjualan. Oleh karena itu, pengakuan (pembiayaan) efek dibentuk suku bunga efektif tidak boleh digunakan “;
“Pembiayaan Islam berdasarkan kontrak penjualan harus diperlakukan pada dasar aqad. Istilah ‘pembiayaan’ untuk kontrak penjualan adalah tidak tepat untuk digunakan. … Ketika penjualan (yang) dicatat sebagai pembiayaan, itu akan menghilangkan esensi dari prinsip syariah. “
Lebih lanjut menunjukkan bahwa standar akuntansi Islam di Indonesia diperlukan “alokasi proporsional dari keuntungan selama periode kredit”.
Pandangan lain dari IAI (AOSSG, 2010) adalah dari pandangan bahwa mengakui keuntungan dari penjualan ditangguhkan pembayaran berdasarkan metode bunga efektif tidak akan membuat aliran pendapatan haram. Ini hanya berfungsi untuk melaporkan informasi tentang nilai waktu dari uang untuk meningkatkan komparabilitas dengan transaksi ekonomi sejenis lainnya, dan tidak memiliki bantalan pada keabsahan transaksi itu sendiri.
Berdasar pendapat yang dikemukakan oleh MASB, AAOIFI, dan IAI dapat dilihat bahwa sumber dari pertentangan ini adalah berbagai isu pengakuan dan pelaporan atau isu standarisasi di dalam akuntansi syariah yang sebenarnya bersumber pada penggunaan sistem berbasis akrual yang juga menjadi salah satu hasil dari konvergensi IFRS ini nantinya. Berikut ini akan dijelaskan mengenai isu-isu standarisasi tersebut.

Isu-isu Standarisasi Akuntansi Syariah terkait dengan Konvergensi IFRS
AOSSG (2010) merinci lima belas isu-isu penting akuntansi syariah dalam kaitannya dengan konvergensi IFRS dan mengelompokkan lagi isu-isu penting tersebut menjadi delapan buah berdasarkan tiga lingkup topik yaitu substansi mengungguli bentuk, ukuran probabilitas, dan time value of money. Berikut akan dibahas mengenai isu-isu penting tersebut berdasar lingkup topik tersebut.
a. Substansi Mengungguli Bentuk
Menurut Kerangka Konseptual IASB dalam PWC (2011) substansi mengungguli bentuk merupakan bagian integral yang mewakili transaction faithfully:
“Faithfully representation berarti bahwa informasi keuangan merupakan substansi dari suatu fenomena ekonomi daripada hanya mewakili bentuk hukumnya.” (Para BC3.26)
Isu yang muncul kemudian adalah ketika pembuat standar konvensional menganggap substansi mengungguli bentuk terpisahkan dengan pelaporan keuangan, ada keraguan tentang penerimaan dari perspektif Islam. Beberapa percaya bahwa substansi mengungguli bentuk akan membuat suatu transaksi keuangan syariah hamper tidak bisa dibedakan dan dibandingkan dengan akuntansi konvensional. Contohnya adalah Ijarah Muntahia Bittamleek. Selama periode ijarah, penyewa hanya dianggap menyewa. Selain itu, ada juga janji (wa’ad) oleh lessor untuk menjual item, dan/atau janji oleh lessee untuk membeli item di akhir periode ijarah. Pada akhirnya, penjualan terpisah dan perjanjian jual beli dimasukkan ke dalam. Maka dikenal:
a. Pendekatan bentuk mengungguli substansi yang berarti laporan keuangan mengenali dua transaksi yang terpisah yaitu sewa akan diakui selama periode ijarah dan penjualan akan diakui pada saat aqad untuk mentransfer ijarah dimasukkan ke dalam.
b. Pendekatan substansi mengungguli bentuk yang berarti laporan keuangan hanya mengenali satu transaksi saja yaitu akun untuk dua transaksi sama dengan kesepakatan ‘hire purchase’ dengan menggabungkan kedua kontrak menjadi satu.
Contoh yang lain adalah penggunaan kontrak Mudarabah dalam skenario yang berbeda. Banyak institusi menggunakan kontrak yang klasik dalam produk dan layanan mereka dan Mudarabah, yang merupakan kontrak bagi hasil umumnya digunakan di bank, sebagai deposito produk dan manajer aset, sebagai produk investasi. Meskipun memiliki istilah yang sama, perilaku oleh IFI terhadap produk ini berbeda. Untuk bank, ada harapan regulasi yang deposan tidak harus kehilangan uang (perlakuan sebagai kewajiban) dan untuk manajer aset, biasanya tidak memiliki kewajiban atas kerugian (perlakuan sebagai item off balance sheet).
Dalam IFRS, pendekatan yang digunakan adalah substansi mengungguli bentuk saja, sehingga IFRS melihat ekonomu dan perilaku yang menentukan akuntansi dan bukan apa bentuk hukum atau apa produk yang disebut. Maka timbullah masalah terutama pada transaksi Ijarah tersebut.
b. Ukuran Probabilitas (Probability Criterion)
Kerangka Konseptual IASB (dalam PWC, 2011) melakukan pengakuan aktiva dan kewajiban ketika kemungkinan bahwa manfaat ekonomi masa depan akan mengalir ke atau dari entitas:
“Konsep probabilitas digunakan … untuk merujuk pada tingkat ketidakpastian bahwa manfaat ekonomi masa depan berhubungan dengan item tersebut akan mengalir ke atau dari entitas.” (Ayat 4,40)

IFRS mengakui biaya-biaya tertentu ketika kemungkinan bahwa manfaat ekonomi masa depan dapat dipastikan. Misalnya, mengarahkan penurunan nilai (impairment) diakui ketika penurunan tersebut diharapkan terjadi. Masalah yang muncul di sini adalah apakah ada larangan syariah terhadap pengakuan aset-aset ikewajiban, pendapatan, dan biaya didasarkan pada ketika kemungkinan tersebut terjadi?
Contoh dari masalah ini adalah Mudarabah yang merupakan perjanjian kemitraan dimana keuntungan dibagi antara mitra pada tingkat yang disepakati. Dalam menghitung keuntungan, bawah model gangguan mengusulkan IASB, penurunan akan diakui pada saat penurunan diharapkan. Menurut pendekatan probabilitas penurunan akan berdampak keuntungan ketika itu adalah kemungkinan, namun pendekatan yang timbul malah justru penurunan hanya bisa berdampak ketika keuntungan tersebut terjadi.
c. Time Value of Money
Banyak Standar IASB menggunakan konsep nilai waktu uang. Sebagai contoh, dalam IAS 39, aktiva tertentu dan kewajiban diukur pada biaya diamortisasi (mengakui pendapatan pembiayaan atau beban pada hasil konstan).
“Pinjaman dan piutang … harus diukur dengan biaya diamortisasi dengan menggunakan metode efektif bunga.” (IAS 39, Par. 46 dalam PWC, 2011)

Masalah yang terjadi adalah apakah tidak pantas untuk mencerminkan nilai waktu dari uang dalam pelaporan transaksi keuangan syariah, apabila tidak ada bunga yang jelas untuk dibebankan atau dikeluarkan dalam transaksi tersebut? Pertanyaan ini untuk beberapa orang tidak menyenangkan karena pengaturan ini dibuat untuk menghindari pengisian bunga akan mengakibatkan pelaporan pendapatan pembiayaan dengan sengaja (AOSSG, 2010).
Contohnya adalah kontrak penjualan tangguhan. Sebuah kontrak penjualan di mana pembayaran ditangguhkan untuk jangka waktu tertentu. Berdasarkan IAS 18 (dalam AOSSG, 2010) jika nilai wajar aktiva yang ditransfer kurang dari kas yang akan diterima, maka perbedaan tersebut dicatat sebagai pendapatan pembiayaan. Namun dalam akuntansi syariah justru mengabaikan pendekatan nilai waktu uang sehingga jumlah seluruh kas yang diterima (atau diterima) akan dicatat sebagai pendapatan penjualan. Selain itu, kelebihan kas yang diterima atas nilai wajar akan dipertimbangkan untuk ditransfer dan akan dicatat sebagai pendapatan penjualan, bukan pembiayaan pendapatan.

d. Isu-isu yang lain
Berikut isu-isu lain yang juga dirinci oleh AOSSG dalam research paper-nya di tahun 2010.

Syirkah
Isu lain yang terkait dengan konvergensi IFRS menurut AOSSG (2010) adalah transaksi Syirkah. Masalah yang sering dipertanyakan adalah apakah jumlah yang diterima atau dipegang oleh suatu badan di bawah pengaturan Syirkah harus mewakili kepentingan kepemilikan di entitas itu?
Dengan dikeluarkannya IFRS 9, ada juga diskusi tentang apakah aset keuangan berdasarkan Syirkah akan diukur pada biaya diamortisasi atau nilai wajar. Ayat 4.2 menyatakan bahwa sebuah aset keuangan harus diukur pada biaya diamortisasi jika kedua kondisi terpenuhi yaitu aset tersebut diadakan dalam model bisnis yang bertujuan untuk memegang aset dalam rangka untuk mengumpulkan arus kas kontraktual dan istilah kontrak dari aset keuangan menimbulkan pada tanggal tertentu untuk arus kas yang semata-mata pembayaran pokok dan bunga atas nilai pokok yang beredar. Ayat 4.4 lebih lanjut menyatakan bahwa sebuah aset keuangan harus diukur pada nilai wajar kecuali diukur pada biaya diamortisasi sesuai dengan ayat 4.2.
Dalam beberapa keadaan, kembali kepada investor dalam suatu pengaturan Syirkah tergantung pada profit yang dihasilkan oleh asosiasi. Dengan demikian, aset-aset ini mungkin perlu diukur pada nilai wajar karena arus kas mungkin tidak mewakili ‘semata-mata pembayaran pokok dan bunga. Sebaliknya, ada pengaturan Syirkah mana tingkat indikasi pengembalian diwakili kepada investor, dan tingkat pengembalian aktual yang dibayarkan kepada investor akan hampir selalu erat sesuai dengan tingkat indikasi ini, terlepas dari keuntungan yang dihasilkan oleh investee. Dalam keadaan ini, dimungkinkan untuk mengukur aktiva dengan biaya diamortisasi karena arus kas dapat dikatakan mirip ‘pembayaran pokok dan bunga’, dan ayat 10 (b)(ii) FRS 108 memerlukan refleksi dari substansi ekonomi dan bukan hanya bentuk hukum.

Special Purpose Entity (SPE)
Dalam sukuk khas, pencetus itu akan mentransfer aset ke entitas tujuan khusus (SPE). SPE yang pada gilirannya akan menawarkan kepada investor klaim pada mereka aset, dan hak untuk arus kas masa depan, untuk jangka waktu sukuk, dengan imbalan uang tunai langsung. Dalam banyak kasus, pengaturan tambahan digunakan untuk secara efektif menjamin bahwa kembali akan berada pada tingkat pra-ditentukan, hanya tunduk kepada risiko kredit dari obligor utama. Jadi, selain dari mematuhi syariah ajaran, sukuk dalam praktek yang serupa dengan baik ikatan tanpa jaminan konvensional, atau sekuritisasi konvensional.
Meskipun ada pengalihan aset ke SPE, seringkali, transfer disertai dengan pengaturan untuk aset yang akhirnya akan ditransfer kembali ke originator. Dengan demikian, dalam keadaan ini, transfer mungkin tidak memenuhi syarat sebagai penjualan, dan mungkin tidak diakui berdasarkan IFRS.
Sukuk Penilaian
Ada larangan perdagangan sukuk baik karena sifat mereka (seperti Bank Sentral Bahrain sukuk al-salam), atau karena pendapat Syariah mempengaruhi peraturan yurisdiksi ini (beberapa ahli hukum melarang perdagangan dalam bai ‘al- Dayn, sementara yang lain memungkinkan kelonggaran dalam keadaan tertentu). Sukuk di masa lalu telah dilakukan dengan biaya yang diamortisasi, yang tidak akan berbeda dengan persyaratan sebelumnya IAS 39, di mana non-diperdagangkan sukuk mungkin bisa diklasifikasikan sebagai ‘pinjaman dan piutang’ baik atau sebagai ‘dimiliki hingga jatuh tempo investasi ‘, dan diukur setelah pengakuan awal pada biaya diamortisasi.
Namun, niat IFRS 9 mengabaikan manajemen untuk instrumen individu, dan bukannya berfokus pada model bisnis suatu entitas untuk mengelola aset keuangan. Ayat 4.2 IFRS 9 hanya memungkinkan aset finansial untuk kemudian diukur pada biaya diamortisasi jika aset tersebut diadakan dalam model bisnis yang bertujuan untuk memegang aset dalam rangka untuk mengumpulkan arus kas kontraktual dan istilah kontrak dari aset keuangan menimbulkan pada tanggal tertentu untuk arus kas yang semata-mata pembayaran pokok dan bunga atas nilai pokok yang beredar.
d.4. Menerapkan IFRS 4 untuk Asuransi Syariah (Takaful)
Asuransi syariah berbeda dari asuransi konvensional yang tidak ada penjualan dan pembelian kebijakan antara perusahaan asuransi dan peserta. Dalam takaful, para peserta setuju untuk kolam uang mereka dalam dana, dan dana dikelola oleh operator takaful yang akan bertanggung jawab mendanai biaya manajemen (dalam wakalah, atau struktur lembaga) dan/atau persentase dari hasil (dalam mudarabah , atau pembagian keuntungan struktur). Dalam kebanyakan kasus, dana tersebut tidak memiliki kepribadian hukum yang terpisah, dan dengan demikian biasanya disajikan dalam laporan keuangan operator asuransi syariah.
Asuransi syariah dikembangkan sebagai alternatif sesuai syariah untuk asuransi, dan ada persamaan dan perbedaan berbagai antara keduanya. Dengan demikian, ada beberapa rambut-pemisahan sebagai apakah IFRS 4 akan berlaku untuk takaful. Inti dari perselisihan terletak pada definisi kontrak asuransi diberikan dalam IFRS 4, yaitu sebuah kontrak di mana salah satu pihak (perusahaan asuransi) menerima asuransi resiko yang signifikan dari pihak lain (pemegang polis) dengan menyetujui untuk mengkompensasi pemegang polis jika peristiwa di masa depan ditentukan pasti (acara tertanggung) merugikan mempengaruhi pemegang polis.
Beberapa orang percaya bahwa definisi ini tidak termasuk pengaturan takaful karena di takaful ada risiko-sharing di antara peserta, dan tidak resiko-transfer dari peserta kepada operator takaful. Selain itu, praktek mungkin berbeda dari teori. Hal ini sering mengatakan bahwa operator takaful hanya mengelola dana peserta dan tidak menerima asuransi resiko. Namun, di banyak yurisdiksi, operator takaful mungkin diperlukan, apakah dengan praktik regulasi atau industri, untuk memberikan bantuan keuangan ketika ada defisit dana peserta. Bantuan ini umumnya dalam bentuk qardh, atau pinjaman bebas bunga. Ada harapan peserta akan membayar dana qardh sekali ada kelebihan yang cukup, namun dalam beberapa wilayah yurisdiksi pembayaran qardh adalah subordinasi untuk peserta (dan, kadang-kadang kreditur lainnya) klaim. Persyaratan tersebut mengindikasikan bahwa peran operator takaful tidak dapat dibatasi hanya yang dari manajer investasi. Jika paparan operator takaful untuk qardh ini dilihat sebagai penerimaan risiko asuransi (meskipun, penerimaan langsung) dapat dikatakan bahwa operator takaful juga akan tunduk ke IFRS 4.
d.5. Klasifikasi dan Pengukuran Qardh
Qardh akan disediakan di luar kebaikan dan penyedia umumnya akan tidak mengharapkan pembayaran kembali. Namun, karena banyak operasi takaful modern dijalankan sebagai bisnis, diharapkan bahwa dana akan membayar qardh kepada operator takaful ketika ada surplus cukup meskipun kepemilikan dapat ditentukan, dan qardh dianggap ‘dibayar ketika mampu’. Ada beberapa diskusi mengenai bagaimana qardh dari operator takaful untuk mendanai peserta harus diperlakukan. Saat ini, ada tiga pandangan utama tentang masalah ini yaitu adalah biaya dari operator takaful, ‘keadilan’ dari operator takaful di dana, dan merupakan instrumen keuangan.
Sebuah operator takaful, yang seringkali merupakan badan usaha, umumnya akan berharap bahwa qardh telah diperpanjang akan dilunasi dari surplus dana yang akhirnya terlepas dari kepemilikan qardh tersebut. Selain itu, puritan bersikeras bahwa peserta akhirnya harus menanggung risiko takaful, dan karena itu peserta memiliki kewajiban untuk melunasi qardh tersebut. Jadi, itu harus diakui sebagai instrumen keuangan.
Ada dua pandangan tentang bagaimana untuk diskon penerimaan kas masa depan qardh yaitu tingkat diskonto harus nihil dan tingkat diskonto harus baik di tingkat internal, ataun komersial, atau setidaknya bebas resiko. Mayoritas ahli hukum Syariah aturan bahwa kembali berdasarkan nilai waktu uang tidak dapat dikenakan pada qardh karena tidak harus komersial. Jadi, tidak ada operator takaful pada biaya bunga qardh. Oleh karena itu, tingkat diskonto untuk penerimaan kas masa depan dari qardh harus nihil karena ini adalah “tingkat pasar yang berlaku dari bunga untuk instrumen serupa. Selain itu, meskipun ‘pasar tingkat’ untuk qardh dapat nihil, memberikan qardh selama periode ditentukan membawa biaya kesempatan bagi operator takaful. Dengan demikian, akan lebih berguna untuk menerapkan tingkat diskonto yang mencerminkan biaya entitas dana, atau pinjaman komersial yang sama seperti faktor-faktor mata uang, panjang, jenis dan lainnya. Penggunaan angka ini lain akan memberikan informasi tentang biaya kesempatan yang hilang. Selain itu, di mana qardh diakui sebagai aset operator takaful, mungkin tunduk pada penurunan, dan persyaratan gangguan yang relevan baik IAS 36 atau IAS 39 akan perlu dipertimbangkan.
d.6. Penyajian Laporan Keuangan Entitas Asuransi Syariah
Penyajian Qardh sebagai piutang dalam sebuah pernyataan gabungan dari posisi keuangan mungkin tidak tepat. Sebuah operator takaful dipandang sebagai entitas yang berbeda dari dana peserta mengelola. Dengan demikian, di beberapa yurisdiksi, mungkin ada penyajiandan persyaratan pengungkapan untuk penekanan pemisahan ini, seperti persyaratan untuk menyiapkan laporan terpisah untuk dana peserta.
Dalam yurisdiksi lain, persyaratan untuk penyajian laporan keuangan mungkin takaful cermin persyaratan untuk asuransi konvensional, dan satu set laporan keuangan ‘gabungan’ mungkin diperlukan harus siap, menggabungkan operator takaful dan dana peserta, tetapi bahkan kemudian mungkin ada persyaratan untuk mengungkapkan jumlah yang disebabkan peserta. Ayat 40 memerlukan pengungkapan yang sama untuk berbagai item kewajiban, dan ayat 2 dari AAOIFI FAS 12 menganggap pernyataan terpisah untuk pendapatan peserta dan biaya untuk menjadi bagian dari “set lengkap laporan keuangan yang harus disiapkan oleh perusahaan”. Pengungkapan tersebut dan penyajian yang tidak diperlukan oleh IFRS saat ini, dan memang tidak hadir dalam laporan keuangan banyak perusahaan asuransi konvensional. Namun, beberapa percaya bahwa tanpa mereka, struktur formal dari takaful set-up akan dikaburkan. Mereka mungkin berpendapat bahwa karena tidak semua aset badan hukum yang tersedia untuk memenuhi semua kewajiban akan menyesatkan hanya untuk mengkonsolidasikan berbagai pooling asset. Telah dicatat bahwa hasil penyajian yang tidak biasa dari menggabungkan laporan terpisah dari operator takaful dan dana peserta ‘ketika qardh diperlakukan sebagai piutang.
Derivatif Tertanam
Hari-hari awal keuangan Islam modern yang ditandai dengan prevalensi fixed-rate pembiayaan. Pada bagian, hal ini disebabkan karena keputusan syariah bahwa harga harus diketahui pada saat kontrak untuk menghilangkan gharar atau ketidakpastian; yang sering diartikan bahwa harga harus diperbaiki. Akibatnya, lembaga keuangan Islam menghadapi risiko ketidakcocokan pendanaan saat memberikan jangka panjang suku bunga tetap pembiayaan didanai oleh deposito jangka pendek variabel tingkat. Tetap tarif juga pelanggan nyaman; mereka yang sebelumnya menyesuaikan untuk tingkat yang lebih tinggi akan dirugikan pada saat harga pasar jatuh.
Untuk meningkatkan manajemen likuiditas dan mengatasi keluhan pelanggan, pembiayaan tingkat variabel telah dikembangkan berdasarkan beberapa konsep-konsep Islam. Beberapa orang berkomentar bahwa tingkat keuntungan ini tutup pada variabel-menilai struktur mungkin derivatif tertanam karena di bawah IAS 39, ayat 10 (dan IFRS 9 ayat 4.6) yang mengatakan bahwa sebuah derivatif tertanam menyebabkan beberapa atau semua dari arus kas yang seharusnya dapat diperlukan oleh kontrak untuk dimodifikasi sesuai dengan tingkat bunga tertentu, instrumen keuangan harga, harga komoditas, nilai tukar asing, indeks harga atau tarif, rating kredit atau kredit indeks, atau variabel lain. IAS 39 selanjutnya membutuhkan bahwa derivatif tertanam dipisahkan dari kontrak utamanya jika memenuhi kriteria dalam paragraf 11-13.
Meskipun IFRS 9 ayat 4.7 tidak memerlukan derivatif tertanam untuk dipisahkan dari host yang berada dalam lingkup standar, adalah mungkin bahwa mungkin ada kontrak hibrida Islam di luar lingkup IFRS misalnya, dalam beberapa kontrak berdasarkan kemitraan seperti beberapa bentuk musharakah berkurang. Berdasarkan ayat 4,8 IFRS 9, entitas akan perlu untuk menerapkan IAS 39 paragraf 11-13 untuk menentukan apakah derivatif melekat harus dipisahkan dari tuan rumah.

Penyesuaian IFRS pada Teori Akuntansi Syariah di Indonesia
Isu-isu penting yang telah dibahas di atas menunjukkan bahwa prinsip akuntansi syariah dan akuntansi konvensional berbeda. IFRS yang merupakan standar internasional yang mengacu pada akuntansi konvensional nampaknya ada beberapa bagian yang tidak cocok dengan prinsip akuntansi syariah ini.
Menurut Muhamad (2002) pada tataran praktis akuntansi syariah adalah akuntansi yang berorientasi sosial dan pertanggungjawaban, sebab akuntansi syariah dapat menyajikan atau mengungkap dampak sosial perusahaan terhadap masyarakat dan sekaligus menyajikan laporan pertanggungjawaban yang bersifat humanis, emansipatoris, transendental dan teologikal. Oleh karena itu, konsep dasar akuntansi syariah adalah bersifat zakat dan amanah oriented. Akuntansi syariah adalah ilmu dan teknologi universal yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan perubahan yang terjadi di dalam lingkungannya, baik sosial, ekonomi, politik, peraturan perundangan, kultur, persepsi dan nilai (masyarakat) tempat akuntansi syariah diterapkan. Akuntansi syariah adalah akuntansi yang dikembangkan bukan hanya dengan cara “tambal sulam” terhadap akuntansi konvensional, akan tetapi, merupakan pengembangan filosofis terhadap nilai-nilai al-Qur’an yang diturunkan ke dalam pemikiran teoritis dan teknis akuntansi.
Berdasarkan hasil tersebut maka bisa dikatakan bahwa konvergensi IFRS terhadap standar akuntansi syariah yang dilakukan di Indonesia tidak akan bisa sempurna seratus persen. AAOIFI (dalam Ibrahim, 2009) dalam hal ini telah memformulasikan alternative standar akuntansi syariah ini berkaitan dengan konvergensi IFRS ini. AAOIFI dalam formulasinya menyatakan bahwa ketika IFRS tidak bisa diadopsi secara keseluruhan oleh IFI, ketika IASB tidak memiliki IFRS untuk menutupi praktek perbankan syariah dan praktek keuangan syariah, dan ketika IFRS dapat diadopsi maka AAOIFI tidak akan mengembangkan standar atau berkembang dan mengadopsi IFRS. Menurut Khairul Nizam, direktur pengembangan teknis di AAOIFI (dalam Ibrahim, 2009) bahwa kesenjangan dan perbedaan ada dan akan terus ada di antara set kedua standar, karena kesenjangan dan perbedaan adalah hasil alami dari struktural tujuan yang berbeda dari IASB dan AAOIFI.
IAI sendiri dalam hal ini juga mengacu pada AAOIFI dalam menanggapi permasalahan konvergensi IFRS ini. IFRS yang ada tidak bisa dipaksakan untuk akuntansi syariah yang memiliki prinsip yang berbeda, seperti yang dikatakan oleh Ibrahim (2009) dalam pendahuluan papernya yaitu “one size doesn’t fit all!”

KESIMPULAN

Perbedaan pendapat tentang bagaimana untuk memperhitungkan transaksi keuangan akuntansi syariah dan isu-isu standarisasi yang muncul akibat konvergensi IFRS merupakan sebuah pembelajaran yang penting dalam pengembangan teori akuntansi syariah yang ada saat ini, terutama dalam makalah ini adalah Indonesia. Penyatuan dua prinsip yang berbeda tidak akan menyelesaikan masalah di antara kedua teori akuntansi yang berbeda, maka penyesuaian merupakan salah satu strategi untuk menghadapi konvergensi IFRS di Indonesia ini. Apabila memang sebuah konsep tidak sesuai dengan IFRS sebaiknya jangan dipaksakan untuk digunakan dan apabila dapat digunakan maka pergunakanlah sebaik mungkin.
Tantangan untuk para pembuat standar dan pihak yang berkepentingan adalah untuk meningkatkan komparabilitas lintas batas transaksi keuangan syariah, sementara memperhatikan sensitivitas agama dan bukannya memaksakan standar IFRS yang ada untuk digunakan. Meskipun IFRS merupakan standar yang diterima secara internasional, namun adanya kenyataan bahwa terdapat beberapa prinsip IFRS yang tak dapat diaplikasikan dengan interpretasi syariah, serta bahwa kerangka kerja pelaporan keuangan yang terpisah untuk transaksi keuangan syariah dibenarkan untuk dilakukan.

sumber : http://nenygory.wordpress.com/